Mengira Bakti Adalah Materi, Saya Justru Dimarahi Ibu. Tes STIFIn Membongkar “Kode Genetik” Tangki Cintanya.

Selama bertahun-tahun, saya hidup dalam paradoks yang menyakitkan. Niat tulus saya untuk membahagiakan ibu—membelikan apa pun yang beliau inginkan sebagai wujud bakti—justru berbalas amarah.

“Kamu ini boros sekali!” bentak beliau.

Bukan ucapan terima kasih yang saya dapat, melainkan label ‘pemboros’. Saya bingung. Bukankah seorang anak yang berbakti membahagikan orang tua dengan materi? Saya salah. Fatal.

Saya baru menemukan jawaban atas anomali ini pada tahun 2019, setelah saya menjadi Promotor STIFIn dan mulai memetakan “Ring 1” saya. Ini bukan sekadar pengalaman spiritual; ini adalah studi kasus logis tentang neuro-compatibility dalam keluarga.

Kesalahan Diagnosis: Memberi “Harta” pada Manusia “Kata”

Langkah pertama adalah investigasi. Saya melakukan Tes STIFIn pada ibu saya. Hasilnya keluar: Intuiting extrovert (Ie).

Bagi Anda yang awam, STIFIn adalah konsep yang memetakan sistem operasi otak dominan berdasarkan genetika sidik jari. Ini permanen, seumur hidup.

Hasil Ie ibu saya membuka segalanya.

Dalam konsep STIFIn, setiap Mesin Kecerdasan (MK) memiliki “kemistri” atau bahasa cinta alaminya sendiri. Saya, seorang Sensing, menganggap cinta adalah HARTA —sesuatu yang konkret, praktis, dan terlihat (hadiah, uang, pelayanan fisik).

Masalahnya, ibu saya seorang Intuiting. Kemistri alaminya adalah KATA.

Tangki cintanya tidak terisi oleh materi. Ia haus akan Words of Affirmation—apresiasi tulus, pengakuan atas ide, dukungan verbal, dan penghargaan positif. Selama ini, saya memberinya “batu” saat ia membutuhkan “roti”. Wajar jika beliau “marah”, tangki cintanya kosong.

Eksperimen: Mengubah Variabel, Menguji Hasil

Berbekal data genetik ini, saya mengubah total pendekatan saya. Ini adalah momen pembuktian konsep.

Suatu siang, setelah kami selesai makan siang, saya tidak memberinya hadiah. Saya menghampirinya, memegang erat tangannya, lalu menciumnya. Saya memberinya “KATA”.

“Alhamdulillah, enak sekali masakan Mamah,” ujar saya dengan tulus. “Mah, terima kasih ya. Selama 30 tahun ini, Mamah sudah merepotkan diri, bangun setiap pagi memasak untuk kami. Memberikan rasa cinta dan nyaman di rumah ini. Terima kasih atas perjuangan Mamah…”

Saya terus mengalirkan apresiasi. Apa yang terjadi?

Beliau menangis. Bukan air mata amarah karena dianggap boros. Itu adalah air mata haru. Tangki cintanya penuh. Validasi yang ia butuhkan puluhan tahun, akhirnya saya berikan.

Yang Mahal dari STIFIn: Bukan Label, Tapi “Manual” Kehidupan

Di sinilah letak kekeliruan banyak orang. Fokus utama setelah tes STIFIn bukanlah kesibukan melabeli diri: “Aku Sensing “, “Dia Feeling “. Jika hanya itu, kita gagal.

Yang tak ternilai dari STIFIn adalah KONSEP-nya.

Ia adalah manual book untuk menerima takdir genetik kita. Ia adalah wasilah (sarana) untuk memaknai mengapa orang tua kita mendidik kita dengan cara tertentu, mengapa pasangan kita merespons dengan cara berbeda.

Kita mendapatkan “Contekan” Ilahi untuk:

  • Konsep berbakti kepada orang tua (dengan memenuhi tangki cinta genetik mereka).
  • Konsep menjadi menantu idaman.
  • Konsep kembali “On” dari stres sesuai Mesin Kecerdasan.

Kebutuhan Genetik Tidak Mengenal Usia

Kebutuhan akan tangki cinta ini adalah fitrah. Ia melekat hingga akhir hayat.

Beberapa minggu lalu, saya menguji seorang ibu-ibu. Hasilnya adalah Feeling (F). Kita tahu, kemistri Feeling adalah CINTA. Ia butuh disayangi, dipahami, dan didengarkan.

Uniknya, ibu ini mengaku masih sangat membutuhkan validasi cinta itu dari ibu-nya sendiri (sang nenek).

Neneknya, yang hadir di situ, menyangkal. “Kamu ini kan sudah bukan anak-anak lagi? Sudah jadi ibu juga. Memang masih perlu, ya?”

Saya menjawab, “Masih, Nek. Itu adalah validasi yang beliau butuhkan. Itu karakter genetik yang melekat dan akan terus ada meskipun kita sudah menua.”

Panggilan untuk Bertindak

Kata-kata ini mungkin akan berlalu begitu saja bagi Anda. Tapi bagi saya, ini adalah revolusi. Sebuah revolusi bakti.

Masih ada berapa banyak dari kita yang bersusah payah membahagiakan orang tua, namun dengan cara yang salah? Berapa banyak istri yang merasa tidak dicintai suaminya, hanya karena “bahasa cinta” mereka tidak sinkron secara genetik?

Artikel ini adalah pertanyaan untuk Anda: Masihkah kita ingin membahagiakan mereka dengan asumsi kita? Atau kita mau berinvestasi untuk mengetahui “manual” genetik mereka?

Mari kita ketahui karakter genetik orang tua kita. Bahagiakan mereka selagi waktu masih ada.

Demi meraih Ridho-Nya.

  • Ardhy Prasta